Sobat SMP 2 Undaan Kudus, Jum'at, 9 April 2021, Pak syaifudin akan membuat goretan artikel kecil untuk memotifasi budaya literasi dan hiburan ditengah wabah pandemi yang entah sampai kapan berakhir WaAllahu a'lam. Dengan judul "MENGENAL ISLAM LEBIH DALAM-2" kelanjutan edisi Jum'at, 19 Maret 2021
HUBUNGAN PRIA DAN WANITA
Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan manusia ini dalam dua jenis, pria dan wanita. Dan sebagaimana telah diketahui pula bahwa kaum pria pasti membutuhkan kepada kaum wanita, bahkan tidaklah akan sempurna kepriaan/kejantananan kaum pria kecuali dengan adanya wanita yang menjadi pasangan hidupnya. Begitu juga kaum wanita, mereka pasti membutuhkan kepada kaum pria, dan kewanitaannya tidaklah akan sempurna melainkan dengan adanya seorang pria yang menjadi pasangan hidupnya. Mereka saling membutuhkan, saling melengkapi, dan saling memenuhi kebutuhan pasangannya.
Maha suci Allah Yang telah menjadikan kelemahan masing-masing jenis sebagai simbul kesempurnaannya bagi pasangannya. Kaum pria memiliki kelemahan dalam banyak hal, misalnya ia tidak dapat mengandung, kurang sabar mengatur dan merawat anak dan rumah, kurang bisa berdandan, bersuara keras dan kasar, kurang bisa lemah lembut, akan tetapi kekurangan-kekurangannya ini merupakan kesempurnaan bagi wanita yang menjadi pasangannya. Sehingga bila ada pria yang lemah lembut, bersuara merdu, jalannya melenggak-lenggok, suka memasak, senantiasa berdandan biasanya dikatakan sebagai pria yang kurang normal, atau yang sering disebut dengan waria. Begitu juga sebaliknya, kaum wanita memiliki kelemahan berupa, tidak perkasa, bersuara lantang/lantang, kurang bisa tegas, mudah takut, selalu datang bulan, kurang gesit, dan seterusnya. Akan tetapi berbagai kekurangannya ini merupakan kesempurnaan bagi pria yang menjadi pasangannya, sehingga bila ada wanita yang berpenampilan perkasa, bersuara keras, dan tidak suka berdandang maka biasanya disebut dengan tomboy.
Walau demikian, syari’at Al-Qur’an tidaklah membiarkan mereka berpasangan bebas, dan dengan cara apapun. Sebab, yang diciptakan dalam keadaan berpasang-pasang semacam ini bukan hanya manusia, tetapi ada mahluk-mahluk lain yang diciptakan demikian juga, misalnya binatang. Binatang juga diciptakan dalam keadaan berpasang-pasang, jantan dan betina, dan mereka saling berpasangan pula.
Oleh karena itu, syari’at Al-Qur’an mengatur hubungan antara pria dan wanita dengan syari’at yang dapat menjaga martabat mereka sebagai mahluk yang mulia dan membedakan hubungan sesama mereka dari hubungan binatang sesama binatang. Manusia adalah mahluk yang telah dimuliakan oleh Allah di atas mahluk-mahluk selain mereka, oleh karena itu hendaknya kita sebagai manusia menjaga kehormatan ini dengan cara menjalankan syari’at Al-Qur’an yang telah menetapkan kehormatan kita tersebut:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al Isra’: 70)
Syari’at Al-Qur’an hanya membenarkan dua cara bagi manusia untuk menjalin hubungan dengan lawan jenisnya:
A. Cara perbudakan
Cara ini hanya dapat dilakukan melalui peperangan antara umat Islam melawan orang-orang kafir, dan bila kaum muslimin berhasil menawan sebagian dari mereka, baik lelaki atau wanita, maka pemimpin umat Islam berhak untuk memperbudak mereka, dan juga berhak untuk meminta tebusan atau membebaskan mereka tanpa syarat.
B. Pernikahan
Hanya dengan dua cara inilah manusia dibenarkan untuk menjalin hubungan dengan pasangannya. dan hanya dengan dua cara inilah tujuan disyari’atkannya hubungan dengan lawan jenis akan dapat dicapai dengan baik. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu menyatu dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum: 21)
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan akan syari’at yang mengatur hubungan antara lawan jenis ini dengan sabdanya,
لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
“Tidaklah pernah didapatkan suatu hal yang berguna bagi doa orang yang saling mencintai serupa dengan pernikahan.” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Adapun berbagai hubungan selain cara ini, maka tidaklah dibenarkan dalam syari’at Al-Qur’an, oleh karena itu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan seorang wanita, kecuali bila wanita itu ditemani oleh lelaki mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits lain Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan alasan larangan ini,
لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
“Janganlah salah seorang dari kamu berduaan dengan seorang wanita, karena setanlah yang akan menjadi orang ketiganya.” (HR. Ahmad, At Tirmizi, An Nasa’i dan dishahihkan oleh Al Albani)
Bukan hanya syari’at Al-Qur’an yang mencela berbagai hubungan lawan jenis diluar pernikahan, bahkan masyarakat kitapun dengan tegas mencela hubungan tersebut, sampai-sampai mereka menyamakan hubungan tersebut dengan hubungan yang dilakukan oleh mahluk selain manusia, yaitu binatang. Mereka menjuluki hubungan di luar pernikahan dengan sebutan “kumpul kebo”. Julukan ini benar adanya, sebab yang membedakan antara hubungan lawan jenis yang dilakukan oleh binatang dan yang dilakukan oleh manusia ialah syari’at pernikahan. Dan pernikahan dalam syari’at Al-Qur’an harus melalui proses dan memenuhi kriteria tertentu, sehingga bila suatu hubungan tidak memenuhi kriteria tersebut, maka tidaklah ada bedanya hubungan tersebut dengan hubungan yang dilakukan oleh binatang.
HUBUNGAN SUAMI ISTRI
Rumah tangga adalah suatu tatanan masyarakat terkecil, dan dari rumah tanggalah suatu tatanan masyarakat terbentuk. Keberhasilan suatu masyarakat atau kegagalannya dimulai dari keberhasilan dan kegagalan anggotanya dalam menjalankan roda kehidupan dalam rumah tangga. Dan sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap rumah tangga minimal terdiri dari suami dan istri.
Oleh karena itu syari’at Al-Qur’an memberikan perhatian besar kepada hubungan antara suami dan istrinya, sampai-sampai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menjadikan baik dan buruknya hubungan seseorang dengan istrinya sebagai standar kepribadian seseorang,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian ialah orang yang paling baik perilakunya terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian dalam memperlakukan istriku.” (HR. At Tirmizi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Diantara syari’at Al-Qur’an yang mengajarkan tentang metode hubungan suami istri yang baik ialah yang disebutkan dalam hadits berikut,
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang lelaki mukmin membenci seorang mukminah (istrinya), bila ia membenci suatu perangai padanya, niscaya ia menyukai perangainya yang lain.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan menyebutkan contoh nyata, beliau berkata, “Tidaklah layak bagi seorang mukmin (suami yang beriman) untuk membenci seorang mukminah (istrinya yang beriman), bila ia mendapatkan padanya suatu perangai yang ia benci, niscaya ia mendapatkan padanya perangai lainnya yang ia sukai, misalnya bila istrinya tesebut berakhlak pemarah, akan tetapi mungkin saja ia adalah wanita yang taat beragama, atau cantik, atau pandai menjaga kehormatan dirinya, atau sayang kepadanya atau yang serupa dengan itu.” (Syarah Muslim Oleh Imam An Nawawi 10/58).
Diantara wujud nyata keindahan syari’at Al-Qur’an dalam membina rumah tangga, ialah diwajibkannya seorang suami untuk menunaikan tanggung jawabnya secara penuh, tanpa terkurangi sedikitpun. Mari kita bersama-sama merenungkan kisah berikut,
عَنْ وَهْبَ بْنَ جَابِرٍ يَقُولُ: إِنَّ مَوْلًى لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَهُ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُقِيمَ هَذَا الشَّهْرَ هَاهُنَا بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ لَهُ تَرَكْتَ لِأَهْلِكَ مَا يَقُوتُهُمْ هَذَا الشَّهْرَ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَارْجِعْ إِلَى أَهْلِكَ فَاتْرُكْ لَهُمْ مَا يَقُوتُهُمْ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضِيعَ مَنْ يَقُوتُ
“Dari Wahab bin Jabir, ia menuturkan, Sesungguhnya salah seorang budak milik Abdullah bin Amr pernah berkata kepadanya, Sesungguhnya aku berencana untuk tinggal selama satu bulan ini di sini di Baitul Maqdis. Maka Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash bertanya kepadanya, Apakah engkau telah meninggalkan untuk keluargamu bekal yang dapat mereka makan selama satu bulan ini? Ia menjawab, Tidak. Abdullah bin Amr berkata kepadanya, Maka kembalilah ke keluargamu, lalu tinggalkan untuk mereka bekalnya, karena aku pernah mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Cukuplah sebagi dosa seseorang (yang akan mencelakakannya-pen) bila ia menyia-nyiakan orang-orang yang wajib ia nafkahi.” (HR. Ahmad, dan Al Baihaqi dan hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim tanpa menyebutkan kisah sebelumnya)
Sebaliknya syari’at Al-Qur’an juga mewajibkan atas kaum istri untuk senantiasa taat kepada suaminya, selama mereka tidak memerintahkannya dengan kemaksiatan. Agar kita dapat sedikit mengetahui betapa besar perhatian Islam dalam memerintahkan kaum istri untuk mentaati suaminya, maka marilah kita bersama-sama merenungkan dua hadits berikut,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku diizinkan untuk memerintahkan seseorang agar bersujud kepada orang lain, niscaya aku akanperintahkan kaum istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Ahmad, At Tirmizi, dan Ibnu Majah)
Dan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Bila seorang wanita telah menunaikan sholat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, menjaga kesucian farjinya, dan mentaati suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya, Masuklah ke surga dari delapan pintu surga yang manapun yang engkau suka.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Albani)
Pada hadits ini Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam memberikan suatu pelajaran penting kepada kaum istri agar hubungannya dengan suaminya bukan hanya di dasari oleh rasa cinta semata. Akan tetapi lebih dari itu semua, ketaatannya kepada suami adalah salah satu bagian dari ibadahnya, dan salah satu ibadah yang amat agung, sampai-sampai disejajarkan dengan sholat lima waktu, dan puasa bulan Ramadhan. Sehingga dengan cara demikian, ketaatan dan kesetiaan kaum istri akan kekal hingga akhir hayatnya, dan tidak mudah luntur oleh berbagai badai yang menerpa bahtera rumah tangganya.
Hal ini tentu berbeda dengan kaum istri yang hanya mengandalkan rasa cintanya, ia akan mudah terhanyutkan oleh godaan dan badai kehidupan, sehingga tatkala ia menghadapi kesusahan atau godaan setan walau hanya sedikit, dengan mudah tergoyahkan. Dari sini kita dapat mengetahui alasan mengapa banyak kaum istri yang dengan mudah melawan suaminya, tidak taat kepadanya, dan bahkan berbuat serong dengan pria lain. Ini semua karena rasa cintanya telah luntur, atau mulai luntur oleh godaan ketampanan, atau jabatan atau harta dan yang serupa.
Dari lain sisi, syari’at Al-Qur’an juga membentengi kaum suami agar dapat tetap istiqomah menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, yaitu dengan menjadikan segala tugas dan kewajibannya sebagai bagian dari ibadah kepada Allah, sehingga kesetiaannya dan kewajibannya tidak mudah luntur atau lengkang karena terpaan masa atau godaan hijaunya rumput tetangga atau kawan sejawat dan lainnya.
إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya bila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain. Dan sesungguhnya engkau tidaklah menafkahkan suatu nafkah yang engkau mengharap dengannya keridhaan Allah, melainkan engkau akan diberi pahala karenanya, sampaipun suapan makanan yang egkau suapkan ke mulut istrimu.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan lebih spesifik Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menjadikan hubungan sebadan dengan istri sebagai salah satu amal sholeh, sebagaimana beliau tegaskan dalam sabdanya berikut ini,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
“Dan hubungan sebadanmu dengan istrimu adalah sedekah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya, kemudian ia dengannya mendapatkan pahala ? Beliau menjawab: bagaimana pendapat kalian, bila ia melampiaskan syahwatnya pada perbuatan yang haram, bukankah ia dengannya akan mendapatkan dosa? Demikian juga bila ia melampiaskannya pada tempat yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi menjelaskan hadits ini dengan berkata, “Pada hadits ini terdapat petunjuk bahwa perbuatan mubah akan menjadi amal ketaatan karena niat yang tulus. Hubungan sebadan akan menjadi ibadah bila pelakunya meniatkkan dengannya untuk memenuhi kebutuhan istri atau menggaulinya dengan cara-cara yang baik sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, atau untuk mencari keturunan yang sholeh atau untuk menjaga dirinya atau menjaga istrinya atau keduanya dari memandang kepada yang diharamkan atau memikirkannya atau menginginkannya atau untuk tujuan-tujuan baik lainnya.” (Syarah Muslim oleh Imam An Nawawi 7/92).
GAYA HIDUP
Syari’at Al-Qur’an bukan hanya mengatur kehidupan dan berbagai hal yang di luar diri kita, bahkan syari’at Al-Qur’an juga mengatur segala hal yang berkaitan dengan diri kita, dimulai dari makanan, penampilan, perilaku, dan lain-lain. Ini semua bertujuan agar umat Islam menjadi insan dan mahluk yang paling bermutu dibanding dengan insan dan mahluk lainnya. Sebagai contohnya, marilah kita renungkan bersama ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan diri manusia.
Al-Qur’an telah mengingatkan dan mengikrarkan bahwa manusia telah mendapatkan karunia dari Allah Ta’ala, berupa dijadikannya mereka sebagai mahluk yang paling mulia dibanding mahluk lainnya. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah bila mereka menjaga keutuhan martabat ini, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al Isra’: 70)
Diantara wujud dimuliakannya umat manusia dalam syari’at Al-Qur’an ialah dilimpahkannya kepada mereka rezeki-rezeki yang baik dan halal, agar dengan rezeki yang baik dan halal tersebut mereka dapat menjaga kemurniaan martabat mereka. Sebab makanan dan pakaian –sebagaimana diketahui bersama- memiliki pengaruh yang amat besar terhadap watak, tabiat dan perilaku manusia. Maka dari itu, tidak asing bila kita dapatkan orang yang banyak memakan daging onta lebih cepat marah dan berperilaku kasar, dari pada orang yang memakan daging kambing sayuran, dan orang yang lebih banyak memakan garam lebih mudah marah dibanding dengan lainnya dan demikianlah seterusnya. Ini diantara pelajaran yang dapat dipetik dari sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam,
السَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ وَالْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي الْفَدَّادِينَ أَهْلِ الْوَبَرِ
“Sesungguhnya ketenangan itu ada pada para pemelihara kambing, sedangkan kecongkakan dan kesombongan ada pada pemilik onta.” (Muttafaqun ‘alaih)
Para pemilik onta lebih sering memakan daging onta dan lebih sering berperi laku kasar, karena demikianlah keadaan yang meliputi kehidupan onta, beda halnya dengan para pemilik kambing.
Bila perbedaan perangai antara manusia dapat kita rasakan dengan perbedaan jenis makanan yang mereka konsumsi, padahal makanan tersebut sama-sama halal, maka tidak heran bila tabiat dan perangai manusia akan berubah menjadi buruk bila makanan yang ia makan adalah makanan yang tidak baik, atau haram. Oleh karena itu syari’at Al-Qur’an mengharamkan atas umatnya segala makanan yang buruk,
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al A’araf: 157)
Syari’at Al-Qur’an juga mengatur umatnya agar tidak bersikap berlebih-lebihan dalam hidupnya, baik dalam hal makanan atau minuman pakaian atau lainnya. Allah Ta’a berfirman,
وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al An’am: 141)
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا غَيْرَ مَخِيلَةٍ وَلَا سَرَفٍ فَإِنَّ اللَّهَ عز وجل يُحِبُّ أَنْ تُرَى نِعْمَتُهُ عَلَى عَبْدِهِ
“Makanlah, minumlah, dan bersedekahlah engkau tanpa ada kesombongan dan tanpa berlebih-lebihan, karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyukai untuk melihat tanda-tanda kenikmatan-Nya pada hamba-hamba-Nya.” (HR. Ahmad, An Nasa’i dan lain-lain dan dishohihkan oleh Al Albani)
Dan pada hadits lain, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam lebih jelas lagi menjabarkan bagaimana seyogyanya seorang muslim makan dan minum,
بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Cukuplah bagi seorang anak adam beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya, dan bila harus (menambah) maka sepertiga (perutnya) untuk makanan, dan sepertiga lainnya untuk minumnya dan sepertiga lainnya untuk nafasnya.” (HR. At Tirmizi, An Nasa’i dll dan dishahihkan oleh Al Albani)
Walaupun demikian, syari’at Al-Qur’an sama sekali tidak melarang umatnya untuk memakan makanan yang enak, memakai pakaian yang bagus, dan menggunakan wewangian yang harum. Oleh karenanya tatkala Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang orang yang suka mengenakan pakaian dan sendal yang bagus, beliau menjawab:
إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sesungguhnya Allah itu Indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim)
Ini tentu menyelisihi sebagian orang yang beranggapan bahwa orang yang multazim atau salafy atau taat beragama tidak pantas untuk berpenampilan rapi, perlente, senantiasa rapi dan berpakaian bagus. Bahkan syari’at Al-Qur’an melarang umatnya untuk berpenampilan acak-acakan, berantakan dan tidak menarik bak syetan,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ: أَتَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَى رَجُلًا ثَائِرَ الرَّأْسِ فَقَالَ: أَمَا يَجِدُ هَذَا مَا يُسَكِّنُ بِهِ شَعْرَهُ؟
“Dari sahabat jabir bin Abdillah rodhiallahu ‘anhushollallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami, kemudian beliau melihat seseorang yang rambutnya kacau-balau (tidak rapi), sepontan beliau bersabda, Apakah orang ini tidak memiliki minyak yang dapat ia pergunakan untuk merapikan rambutnya?” (HR. An Nasa’i dan dishahihkan oleh Al Albani)
Oleh karena itu tidak benar bila ada anggapan bahwa seorang muslim yang taat beragama senantiasa tidak rapi atau tidak layak untuk berpenampilan rapi, harum, berpakaian bagus dan menawan. Oleh karena itu sahabat Abdullah bin Abbas berkata,
كل ما شئت والبس واشرب ما شئت ما أخطأتك اثنتان سرف أو مخيلة.. رواه البخاري وعبد الرزاق وابن أبي شيبة والبيهقي
“Makanlah sesukamu, berpakaian dan minumlah sesukamu, selama engkau terhindar dari dua hal: berlebih-lebihan dan keangkuhan.” (HR. Al Bukhari, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi)
PERNIAGAAN
Perniagaan adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan umat manusia, tidak ada manusia di dunia ini melainkan ia membutuhkan kepada hal ini. Sebab setiap orang tidak mungkin untuk memenuhi kebutuhan dengan sendiri, ia pasti membutuhkan kepada bantuan orang lain, baik melalui uluran tangan dan bantuan atau dengan cara imbal balik melalui hubungan perniagaan. Oleh karena itu syari’at Al-Qur’an tidak melalaikan aspek ini, sehingga kita dapatkan berbagai ayat dan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan dan mengatur perniagaan umat Islam.
Di antara sekian banyak ayat dan hadits yang membuktikan bahwa Islam telah memiliki metode aturan yang indah lagi baku dalam perniagaan ialah firman Allah Ta’ala berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa’: 29)
Pada ayat ini, Allah mengharamkan atas umat manusia untuk mengambil atau memakan harta sesama mereka melalui perniagaan bila tidak di dasari oleh rasa suka sama suka, rela sama rela. Oleh karena itu diharamkan dalam Islam jual beli yang di dasari karena rasa sungkan atau rasa malu atau rasa takut, sebagaimana dijelaskan oleh ulama’ ahli fiqih, sebagai contohnya silahkan baca kitab As Syarhul Mumti’ 8/121-122 oleh Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin.
Diantara wujud indahnya syari’at Al-Qur’an dalam perniagaan ialah apa yang digambarkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)
Dalam perniagaan terkadang kala kita merasa perlu untuk berhutang dengan ketentuan wajib membayar dalam tempo yang disepakati. Akan tetapi tidak setiap kali orang yang berhutang mampu melunasi piutangnya pada tempo yang telah disepakati dikarenakan satu atau lain hal. Bila kita menghadapi keadaan yang seperti, syari’at Al-Qur’an menganjurkan bahkan kadang kala mewajibkan atas orang yang memberi piutang untuk menunda tagihannya hingga waktu kita mampu melunasinya, tanpa harus menambah jumlah tagihan (bunga), sebagaimana yang biasa terjadi di masyarakat jahiliyyah dan juga sebagaimana yang terjadi pada sistem perokonomian jahiliyah yang dianaut oleh kebanyakan masyarakat pada zaman ini.
Perbuatan menunda tagihan bila yang berhutang dalam keadaan kesusahan atau tidak mampu, bukan hanya sebagai etika perniagaan semata, akan tetapi merupakan salah satu amal ketaatan dan amal sholeh yang dengannya pelakunya akan mendapatkan ganjaran dan pahala dari Allah Ta’ala, baik di dunia ataupun di akhirat. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى
“Semoga Allah senantiasa merahmati seseorang yang senantiasa berbuat mudah ketika ia menjual, ketika membeli dan ketika menagih.” (HR. Bukhari)
Dan pada hadits lainnya, beliau menyebutkan salah satu bentu balasan Allah kepada orang yang menunda tagihan dari orang yang kesusahan,
عَنْ حُذَيْفَةَ رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: أُتِيَ اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِي الدُّنْيَا قَالَ (وَلَا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا) قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِي مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِي الْجَوَازُ فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ فَقَالَ اللَّهُ أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِي
“Sahabat Huzaifah rodhiallahu ‘anhu menuturkan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “(Pada hari kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah bertanya kepadanya, Apa yang engkau lakukan ketika di dunia? (Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian) Iapun menjawab, Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual-beli dengan orang lain, dan kebiasaanku (akhlakku) adalah senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan) dari orang yang mampu dan menunda (tagihan dari) orang yang tidak mampu. Kemudian Allah berfirman: Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari dua hadits ini, kita mendapatkan suatu pelajaran berharga, yaitu walaupun perniagaan bertujuan untuk mengais rezeki dan mengumpulkan keuntungan materi, akan tetapi perniagaan juga dapat menjadi ajang untuk mengais dan mengumpulkan pahala danmenghapuskan dosa, sebagaimana yang dikisahkan pada hadits kedua di atas.
Diantara prinsip perniagaan yang diajarkan oleh syari’at Al-Qur’an ialah senantiasa berlaku jujur ketika berniaga, sampai-sampai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ! فَاسْتَجَابُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَفَعُوا أَعْنَاقَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ إِلَيْهِ فَقَالَ: إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلَّا مَنْ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ
“Wahai para pedagang! Maka mereka memperhatikan seruan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallamdan mereka menengadahkan leher dan pandangan mereka kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan kelak pada hari kiamat sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertaqwa kepada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.” (HR. At Tirmizi, Ibnu Hibban, Al Hakim dan dishahihkan oleh Al Albani)
Sebagai salah satu contoh nyata dari perilaku pedagang yang tidak jujur, ialah apa yang dikisahkan pada hadits berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
“Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pada suatu saat melewati seonggokan bahan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan tersbeut, lalu jari-jemari beliau merasakan sesuatu yang basah, maka beliau bertanya, “Apakah ini wahai pemilik bahan makanan?” Ia menjawab, Terkena hujan, ya Rasulullah! Beliau bersabda, Mengapa engkau tidak meletakkannya di bagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang mengelabui maka bukan dari golonganku.” (HR. Muslim)
Diantara perwujudan dari keindahan syari’at Al-Qur’an ialah diharamkannya memperjual-belikan barang-barang yang diharamkan dalam syari’at atau ikut andil dalam memperjual-belikannya.. Sebab setiap barang haram, pastilah mendatangkan dampak buruk dan merugikan, baik pemiliknya atau masyarakat umum. Ini merupakan salah satu metode syari’at Al-Qur’an dalam menjaga kesucian harta hasil perniagaan, dan menjaga kesucian masyarakat dari barang-barang haram dan menjaga ketentraman mereka. Oleh karena itu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah bila telah mengharamkan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya.” (HR. Imam Ahmad, Al Bukhari dalam kitab At Tarikh Al Kabir, Abu Dawud, Ibnu Hibban, At Thabrani, dan Al Baihaqi dari sahabat Ibnu Abbas rodhiallahu ‘anhu. Dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad 5/746)
Sebagai salah satu contohnya perniagaan khamer, diharamkan, bahkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam telah melaknati setiap orang yang memiliki andil dalam perniagaan ini,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشْرَةً: عَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُ لَهُ
“Dari sahabat Anas bin Malik rodhiallahu ‘anhu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam melaknati berkaitan dengan khomer sepuluh orang: Pemerasnya, orang yang meminta untuk diperaskannya, peminumnya, pembawanya (distributornya), orang yang dibawakan kepadanya, penuangnya (pelayan yang mensajikannya), penjualnya, pemakan hasil jualannya, pembelinya, dan orang yang dibelikan untuknya.” (HR. At Tirmizi dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani)
SOSIAL
Allah Ta’ala menciptakan manusia di dunia ini dalam keadaan berpasang-pasang, ada lelaki ada wanita, ada yang kaya ada yang miskin, ada yang pandai ada pula yang bodoh, ada yang sholeh dan ada pula yang jahat dan demikianlah seterusnya.
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS. Az Zariyat: 49)
Dan pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepadamu. Sesungguhnya Rabbmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al An’am: 165)
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan Nabi Muhammad beserta umatnya sebagai penguasa bumi dengan cara membinasakan umat-umat sebelum mereka dan menjadikan mereka sebagai pengganti orang-orang sebelum mereka dalam memakmurkan bumi. Kemudian Allah Ta’ala menyebutbkan bahwa Ia dengan sengaja membeda-bedakan antara manusia dalam berbagai hal, sehingga sebagian orang memiliki kelebihan dibanding orang lain dalam hal harta benda, dan yang lain memiliki kelebihan dalam hal kekuatan badan, dan yang lain memiliki kelebihan dalam ilmu. Kemudian Allah Ta’ala juga menjelaskan maksud dan tujuan-Nya membeda-bedakan manusia dalam berbagai hal, tujuannya ialah untuk menguji sebagian mereka dengan sebagian yang lain, apakah yang kaya mampu menjalankan peranannya dengan kekayaannya, yaitu dengan menyantuni yang miskin, dan yang berilmu menjalankan peranannya dengan mengajarkan ilmunya, dan yang kuat perkasa menjalankan peranannya yaitu dengan melindungi yang lemah. Dan sebaliknya, yang miskin, bodoh, dan yang lemah apakah mampu untuk bersabar dan berterima kasih kepada yang telah berbuat baik kepadanya. (Baca Tafsir Ibnu Jarir At Thobari 8/114 & Tafsir Ibnu Katsir 2/201).
Dan telah menjadi sunnatullah di alam semesta ini bahwa mereka semua saling membutuhkan dan melengkapi. Orang kaya tidaklah akan dapat menikmati kekayaannya bila tidak ada yang miskin, orang pandai tidak akan dapat merasakan dan mendapat kemanfaatan dari kepandaiannya bila tidak ada yang bodoh, dan yang kuat perkasa tidak akan mendapatkan kemanfaatan dari kekuatannya bila tidak ada yang lemah, dan demikianlah seterusnya. Oleh karena itu pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az Zukhruf: 32)
Dikarenakan seluruh lapisan masyarakat saling melengkapi, dan masing-masing menjalankan peranannya, maka syari’at Islam menggariskan satu prinsip indah agar kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan baik dan damai. Prinsip tersebut ialah prinsip ta’awun dalam kebaikan dan larangan untuk ta’awun dalam kejelekan, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala berikut ini,
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan bertolong-menolonglah dalam kebajikan dan ketaqwaan, dan janganlah bertolong-tolong dalam perbuatan dosa dan melampaui batas. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah: 2)
Penerapan nyata dari apa yang telah dipaparkan di atas tentang tatanan masyarakat Islam, dengan lebih jelas digambarkan dalam sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini,
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ. قِيلَ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: يَعْتَمِلُ بِيَدَيْهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ. قَالَ: قِيلَ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ؟ قَالَ: يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ. قَالَ: قِيلَ لَهُ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ؟ قَالَ يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ أَوْ الْخَيْرِ. قَال:َ أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَفْعَلْ؟ قَالَ: يُمْسِكُ عَنْ الشَّرِّ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ
“Wajib atas setiap orang muslim untuk bersedekah. Dikatakan kepada beliau, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia bekerja dengan kedua tangannya, sehingga ia menghasilkan kemanfaatan untuk dirinya sendiri dan juga bersedekah.’ Dikatakan lagi kepadanya, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia membantu orang yang benar-benar dalam kesusahan.’ Dikatakan lagi kepada beliau, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia memerintahkan dengan yang ma’ruf atau kebaikan.’ Penanya kembali berkata, ‘Bagaimana bila ia tidak (mampu) melakukannya?’ Beliau menjawab, ‘Ia menahan diri dari perbuatan buruk, maka sesungguhnya itu adalah sedekah.’” (HR. Muslim)
Sebagaimana syari’at Al-Qur’an juga mengarahkan agar sebagian masyarakat yang memiliki kelebihan di atas sebagian yang lain dalam suatu hal, tidak bertindak sesuka hatinya, meremehkan selainnya, sombong, angkuh, dan congkak; sebab di atas mereka semua ada Dzat Yang Maha Kuasa, Maha Kaya, Maha Pandai, Maha Perkasa, Maha Pedih siksa-Nya.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman tetang orang-orang yang memiliki kelebihan ilmu dibanding yang lain,
نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مِّن نَّشَاء وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki: dan diatas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76)
Dan pada hadits berikut, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang orang-orang yang memiliki kelebihan dalam hal kekuatan dan kekuasaan diatas yang lainnya,
قَالَ أَبُو مَسْعُودٍ الْبَدْرِيُّ رضي الله عنه: كُنْتُ أَضْرِبُ غُلَامًا لِي بِالسَّوْطِ فَسَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ خَلْفِي اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ فَلَمْ أَفْهَمْ الصَّوْتَ مِنْ الْغَضَبِ قَالَ فَلَمَّا دَنَا مِنِّي إِذَا هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَقُولُ اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ قَالَ فَأَلْقَيْتُ السَّوْطَ مِنْ يَدِي فَقَالَ اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ أَنَّ اللَّهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلَامِ قَالَ فَقُلْتُ لَا أَضْرِبُ مَمْلُوكًا بَعْدَهُ أَبَدًا
“Abu Mas’ud Al Badri pernah menuturkan: “Pada suatu hari aku sedang memukul budakku dengan cambuk, kemudian aku mendengar suara dari arah belakangku, “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!” Aku tidak dapat memahami suara tersebut dikarenakan hanyut oleh rasa amarahku. Ketika orang yang bersuara itu mendekat dariku, ternyata ia adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau bersabda, Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!” (maka ) akupun segera mencampakkan cambukku dari tanganku. Kemudian beliau bersabda, “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud, bahwa Allah lebih Kuasa atas dirimu dibanding dirimu atas budak tersebut” Lalu Abu Mas’ud berkata, Aku tidak akan memukul seorang budak-pun setelah budak tersebut.” (HR. Muslim)
Dan sebaliknya, syari’at Al-Qur’an juga mengingatkan orang-orang yang miskin, lemah, tidak berkedudukan, bila melihat orang-orang yang berkedudukan, kaya raya, dan perkasa, agar tidak bersedihan, atau merasa terhinakan atau timbul rasa hasad, iri atau dengki.
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thoha: 131)
Pada ayat ini Allah Ta’ala melarang Nabi-Nya shollallahu ‘alaihi wasallam dan juga para pengikutnya bila dari sikap terkagum-kagum dan terpana dari kelebihan orang lain dalam hal kekayaan dunia dan yang serupa, sebab berbagai kekayaan dunia tersebut merupakan cobaan dari Allah yang ditimpakah kepada mereka, apakah mereka mensyukurinya atau sebaliknya malah mengkufurinya. Apalagi kekayaan tersebut bersifat semu dan sementara, tidak akan kekal, dan kelak di hari kiamat pemiliknya harus mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah Ta’ala. Kemudian Allah Ta’ala mengingatkan Nabi-Nya shollallahu ‘alaihi wasallam dan juga kaum mukminin bahwa rezeki Allah Ta’ala yang telah dilimpahkan kepada mereka berupa keimanan, ilmu yang bermanfaat, amal sholeh dan rezeki yang halal serta kenikmatan di akhirat berupa surga dan isinya lebih baik dan lebih kekal. (Baca Tafsir Taisirul Karimir Rahmaan Oleh Syeikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy 516-517).
Bila dua sikap yang telah dijabarkan pada dua ayat di atas dipahami dan kemudian dihayati dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat, niscaya masyarakat tersebut akan aman, damai, sentausa dan makmur.
Demikianlah sebagian dari konsep sosial yang diajarkan oleh syari’at Al-Qur’an kepada umatnya.
HUBUNGAN DENGAN MAKHLUK LAIN
Syari’at Al-Qur’an bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan antara sesama mereka, akan tetapi lebih dari itu semua, sehingga syari’at mengatur hubungan antara manusia dengan mahluk lain, misalnya binatang. Sebagai salah satu buktinya, marilah kita renungkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan perbuatan baik atas segala sesuatu: maka bila engkau membunuh, maka berlaku baiklah pada pembunuhanmu, dan bila engkau menyembelih, maka berlaku baiklah pada penyembelihanmu, hendaknya salah seorang dari kamu (ketika hendak menyembelih-pen) menajamkan pisau sembelihannya, dan menenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim)
Para ulama’ yang menjelaskan hadits ini menyatakan: bahwa hadits ini berlaku dalam segala hal, segala pembunuhan, dan segala penyembelihan. Bila hendak membunuh suatu binatang misalnya,maka bunuhlah dengan cara-cara yang baik, bukan dengan cara dibakar hidup-hidup, atau dicincang hidup-hidup, atau yang serupa. Akan tetapi bunuhlah dengan cara-cara yang paling cepat mematikan.
Dan ketika menyembelih, hendaknya pisau sembelihannya ditajamkan terlebih dahulu, dan penajaman pisaunya hendaknya tidak dilakukan dihadapan binatang sembelihan, dan hendaknya binatang tersebut tidak diseret dengan kasar menuju tempat penyembelihan, dan hendaknya tidak menyembelih binatang dihadapan binatang lain yang hendak disembelih pula, dan hendaknya tidak dikuliti dan dipotong-potong, hingga benar-benar telah mati dan seterusnya. Demikianlah syari’at Al-Qur’an mengajarkan umatnya untuk berbuat baik sampai pun ketika membunuh dan menyembelih.
Sebagai bukti lain bagi keindahan syari’at Al-Qur’an adalah kisah yang disampaikan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ مِنِّي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ مَاءً ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ حَتَّى رَقِيَ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي هَذِهِ الْبَهَائِمِ لَأَجْرًا فَقَالَ فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Tatkala seseorang sedang berjalan di suatu jalan, ia ditimpa rasa haus yang amat sangat, kemudian ia mendapat sumur, maka iapun turun ke dalamnya, kemudian ia minum lalu keluar kembali. Tiba-tiba ia mendapatkan seekor anjing yang sedang menjulur-julurkan lidahnya sambil memakan tanah karena kehausan. Maka orang tersebut berkata: Sungguh anjing ini sedang merasakan kehausan sebagaimana yang tadi aku rasakan, kemudian iapun turun kembali ke dalam sumur, kemudian ia mengisi sepatunya dengan air, lalu ia gigit dengan mulutnya hingga ia mendaki keluar dari sumur tersebut, kemudian ia memberi minum anjing tersebut. Maka Allah berterima kasih (menerima amalannya) dan mengampuninya. Para sahabat betanya, Ya Rasulullah, apakah kita pada binatang-binatang semacam ini akan mendapatkan pahala? Beliau menjawab, Pada setiap mahluk yang berhati basah (masih hidup) terdapat pahala.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan sebaliknya, menyiksa binatang tanpa alasan yang dibenarkan, juga merupakan perbuatan dosa yang pelakunya akan mendapatkan balasannya yang setimpal, sebagaimana dikisahkan pada hadits berikut,
دَخَلَتْ امْرَأَةٌ النَّارَ فِي هِرَّةٍ رَبَطَتْهَا فَلَمْ تُطْعِمْهَا وَلَمْ تَدَعْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ
“Ada seorang wanita yang masuk neraka karena seekor kucing, ia mengikatnya kemudian ia tidak memberinya makan dan tidak juga melepaskannya mencari makanan dari serangga bumi.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan pada hadits lain Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya untuk menjadikan mahluk bernyawa sebagai sasaran memanah (bukan untuk ditangkap lalu dimakan, akan tetapi hanya sekedar sebagai sasaran latihan memanah) atau yang serupa:
لَا تَتَّخِذُوا شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا
“Janganlah engkau jadikan mahluk bernyawa sebagai sasaran.” (HR. Muslim)
Sudah barang tentu hadits ini bertentangan dengan hobi sebagian orang, yaitu hobi berburu, dimana kebanyakan mereka tidaklah menginginkan binatang yang berhasil ia tembak untuk dimakan, akan tetapi hanya sekedar melampiaskan hobinya dan bersenang-senang dengan berhasil membidik binatang buruannya.
Apa yang telah dipaparkan di atas adalah setetes dari lautan keindahan syari’at Al-Qur’an dalam segala aspeknya. Dan keindahan-keindahan syari’at Al-Qur’an ini dan juga lainnya tidaklah akan dapat diketahui kecuali oleh orang-orang yang mengenal syari’at Al-Qur’an dan memahaminya dengan baik. Oleh karena itulah tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk tidak mempelajari syari’at agamanya, masing-masing sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu amat merugilah bila seorang muslim yang tidak mengetahui keindahan syari’at agamanya, sehingga ia tidak akan dapat merasakannya dalam kehidupan nyata.
Sebagai penutup paparan singkat ini, saya mengajak para pembaca untuk senantiasa berdoa siang dan malam memohon keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala sehingga kita dapat merasakan indahnya syari’at Al-Qur’an:
اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الإِيْمَانَ وَزَيِّنْهُ فِيْ قُلُوْبِنَا وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ وَاجْعَلْنَا مِنَ الرَّاشِدِيْنِ. اللَّهُمَّ تَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ وَأَحْيِنَا مُسْلِمِيْنَ وَأَلْحِقْنَا بِالصَّالِحِيْنَ غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ مَفْتُوْنِيْنَ
“Ya Allah, limpahkanlah kepada kami kecintaan kepada keimanan dan jadikanlah ia indah dalam hati kami, dan limpahkanlah kepada kami kebencian kepada kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan, dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk. Ya Allah wafatkanlah kami dalam keadaan muslim, dan hidupkanlah kami dalam keadaan muslim, dan kumpulkanlah kami dengan orang-orang sholeh tidak dalam keadaan hina tidak juga tertimpa fitnah.” Amiin.[]