Sobat SMP 2 Undaan Kudus, Jum'at, 19 Maret 2021, Pak syaifudin akan membuat goretan artikel kecil untuk memotifasi budaya literasi dan hiburan ditengah wabah pandemi yang entah sampai kapan berakhir WaAllahu a'lam. Dengan judul "MENGENAL ISLAM LEBIH DALAM-1" Segala puji hanya milik Allah- bersifat universal, mencakup segala urusan, baik yang berkaitan dengan urusan ibadah ataupun mu’amalah, sehingga syari’at Islam benar-benar seperti yang Allah firmankan,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridlo Islam menjadi agamamu.” (QS. Al Maidah: 3)
Dan sebagaimana yang Allah firmankan pada ayat lain,
Dan sebagaimana yang Allah firmankan pada ayat lain,
إِنَّ هَـٰذَا ٱلْقُرْءَانَ يِهْدِى لِلَّتِى هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al Isra’: 9)
Syeikh Abdurrahman As Sa’dy rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Allah Ta’ala mengabarkan tentang kemuliaan dan kedudukan Al-Qur’an yang agung, dan bahwasannya Al-Qur’an akan membimbing (manusia) kepada jalan yang paling lurus. Maksudnya jalan yang paling adil lagi mulia, baik dalam urusan akidah (idiologi) perilaku dan akhlak. Maka barang siapa yang menjalankan segala seruan Al-Qur’an, niscaya ia menjadi orang yang paling sempurna, lurus, dan paling benar dalam segala urusannya. Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal saleh baik yang wajib atau sunnah, bahwa bagi mereka ada pahala yang besar yang telah Allah siapkan di surga, yang tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui hakikatnya.” (Taisiril Karimir Rahman: 454)
Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala menyebutkan bahwa pahala yang telah Ia siapkan bagi orang-orang yang beramal sholeh dan menjalankan syari’at Al-Qur’an bukan hanya di surga semata, akan tetapi juga meliputi pahala di dunia, sebagaimana yang Allah Ta’ala tegaskan pada ayat berikut,
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa, dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (QS. An Nur: 55)
Inilah pahala dan ganjaran yang akan diberikan kepada orang-orang yang menjalan syari’at Al-Qur’an.
Walau demikian tingginya syari’at Al-Qur’an dan begitu adilnya syari’at Islam serta begitu besarnya pahala dan balasan yang diberikan kepada orang-orang yang mengamalkannya, akan tetapi fenomena umat Islam di zaman kita tidaklah mencerminkan akan yang demikian itu. Betapa rendahnya umat Islam di mata umat lain, betapa terpuruknya perekonomian, keamanan dan kekuatan umat Islam bila dibandingkan dengan umat lain, betapa remehnya ilmu Al-Qur’an di mata banyak dari kaum muslimin bila dibandingkan dengan berbagai ilmu-ilmu lainnya dan betapa banyaknya petaka yang dari hari ke hari menimpa mereka.
Walau demikian tingginya syari’at Al-Qur’an dan begitu adilnya syari’at Islam serta begitu besarnya pahala dan balasan yang diberikan kepada orang-orang yang mengamalkannya, akan tetapi fenomena umat Islam di zaman kita tidaklah mencerminkan akan yang demikian itu. Betapa rendahnya umat Islam di mata umat lain, betapa terpuruknya perekonomian, keamanan dan kekuatan umat Islam bila dibandingkan dengan umat lain, betapa remehnya ilmu Al-Qur’an di mata banyak dari kaum muslimin bila dibandingkan dengan berbagai ilmu-ilmu lainnya dan betapa banyaknya petaka yang dari hari ke hari menimpa mereka.
Kenyataan pahit ini hanya ada satu jawaban, yaitu sebagaimana yang Allah Ta’ala tegaskan pada firman-Nya berikut,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’araf: 96)
Dan pada firman-Nya berikut ini,
Dan pada firman-Nya berikut ini,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum: 41)
Bila ada yang bertanya, Mengapa umat Islam di seluruh belahan dunia dengan mudah dapat terjerumus ke dalam keadaan yang amat mengenaskan demikian ini?
Maka jawabannya ada pada firman Allah Ta’ala berikut,
Maka jawabannya ada pada firman Allah Ta’ala berikut,
اهدِنَـا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al Fatihah: 6-7)
Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan dua ayat ini berkata, “Jalan orang-orang yang telah Engkau limpahkan kepada mereka kenikmatan, yang telah disebutkan kriterianya, yaitu orang-orang yang mendapat petunjuk, beristiqomah, senantiasa ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya dan yang senantiasa menjalankan perintah dan menjauhi segala larangannya. Jalan tersebut bukanlah jalan orang-orang yang dimurkai, yaitu orang-orang yang telah rusak jiwanya, sehingga mereka mengetahui kebenaran akan tetapi mereka berpaling darinya. Tidak juga jalannya orang-orang yang tersesat, yaitu orang-orang yang tidak berilmu, sehingga mereka terombang-ambingkan dalam kesesatan dan tidak dapat mengetahui kebenaran.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/29).
Bila kita renungkan keadaan umat Islam sekarang ini, maka kita akan dapatkan bahwa kebanyakan pada mereka terdapat satu dari dua perangai di atas:
1. Mengetahui kebenaran akan tetapi dengan sengaja berpaling darinya, karena mengikuti bisikan hawa nafsu dan ambisi pribadinya.
2. Tidak mengetahui kebenaran, sehingga kehidupannya bagaikan orang yang sedang hanyut dan diombang-ambingkan oleh derasnya arus badai, sehingga ia berpegangan dengan apa saja yang ada di sekitarnya, walaupun hanya dengan sehelai rumput atau sarang laba-laba. Ia tidak mengetahui kebenaran yang diajarkan oleh Al-Qur’an, sehingga ia hanyut oleh badai kehidupan, dan akhirnya mengamalkan atau meyakini apa saja yang ia dengar dan baca. Bahkan tidak jarang, orang-orang jenis ini dengan tidak sengaja memerangi dan memusuhi syari’at Al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan dalam pepatah arab,
2. Tidak mengetahui kebenaran, sehingga kehidupannya bagaikan orang yang sedang hanyut dan diombang-ambingkan oleh derasnya arus badai, sehingga ia berpegangan dengan apa saja yang ada di sekitarnya, walaupun hanya dengan sehelai rumput atau sarang laba-laba. Ia tidak mengetahui kebenaran yang diajarkan oleh Al-Qur’an, sehingga ia hanyut oleh badai kehidupan, dan akhirnya mengamalkan atau meyakini apa saja yang ia dengar dan baca. Bahkan tidak jarang, orang-orang jenis ini dengan tidak sengaja memerangi dan memusuhi syari’at Al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan dalam pepatah arab,
الإنسان عدوٌ لما يجهله
“Setiap manusia itu akan memusuhi segala yang tidak ia ketahui.”
Oleh karena itu pada kesempatan ini kita akan bersama-sama mengenali berbagai sisi keindahan dan keadilan syariat Al-Qur’an, sehingga keimanan kita semakin kokoh bahwa syari’at islam adalah syari’at yang lurus dan satu-satunya metode hidup yang dapat merealisasikan kebahagiaan bagi umat manusia di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu pada kesempatan ini kita akan bersama-sama mengenali berbagai sisi keindahan dan keadilan syariat Al-Qur’an, sehingga keimanan kita semakin kokoh bahwa syari’at islam adalah syari’at yang lurus dan satu-satunya metode hidup yang dapat merealisasikan kebahagiaan bagi umat manusia di dunia dan akhirat.
Berikut kita akan membaca syari’at Al-Qur’an dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia, agar iman kita semakin kokoh bahwa Al-Qur’an adalah metode dan dasar bagi kehidupan umat manusia dalam segala aspeknya. Bukan hanya dalam urusan peribadatan kepada Allah Ta’ala semata, akan tetapi mencakup segala aspek kehidupan umat manusia.
AKIDAH (KEYAKINAN)
AKIDAH (KEYAKINAN)
Bagian ini adalah bagian yang paling banyak diperhatikan dan ditekankan dalam syari’at Al-Qur’an. Bahkan permasalahan ini telah disatukan dengan segala urusan setiap muslim dan dijadikan sebagai tujuan dari segala gerak dan langkah kehidupan mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Az Dzariyat: 56)
Dan pada ayat lain Allah berfirman,
Dan pada ayat lain Allah berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (ajal/kematian).” (QS. Al Hijr: 99)
Inilah akidah Al-Qur’an, yaitu beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan segala macam bentuk peribadatan kepada selain-Nya, baik peribadatan dengan pengagungan, kecintaan, rasa takut, harapan, ketaatan, pengorbanan, atau lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا
“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS. An Nisa’: 36)
Akidah Al-Qur’an juga mengajarkan agar umat Islam menjadi kuat dan perkasa bak gunung yang menjulang tinggi ke langit, tak bergeming karena terpaan angin atau badai. Akidah Al-Qur’an mengajarkan mereka untuk senantiasa yakin dan beriman bahwa segala yang ada di langit dan bumi adalah milik Allah, tiada yang dapat menghalang-halangi rezeki yang telah Allah tentukan untuk hamba-Nya dan tiada yang dapat memberi rezeki kepada orang yang tidak Allah Ta’ala beri.
لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ كُلٌّ لَّهُ قَانِتُونَ
“Apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 116)
Dan pada ayat lain Allah berfirman,
Dan pada ayat lain Allah berfirman,
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى
“Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.” (QS. Thoha: 6)
Dengan keyakinan dan iman semacam ini, setiap muslim tidak akan pernah menggantungkan kebutuhan atau harapannya kepada selain Allah, baik itu kepada malaikat, atau nabi atau wali atau dukun atau ajimat. Tiada yang mampu memberi atau mencegah rezeki, keuntungan, pertolongan atau lainnya selain Allah Ta’ala:
Dengan keyakinan dan iman semacam ini, setiap muslim tidak akan pernah menggantungkan kebutuhan atau harapannya kepada selain Allah, baik itu kepada malaikat, atau nabi atau wali atau dukun atau ajimat. Tiada yang mampu memberi atau mencegah rezeki, keuntungan, pertolongan atau lainnya selain Allah Ta’ala:
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِن بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2)
Pada ayat lain Allah berfirman,
Pada ayat lain Allah berfirman,
قُلْ مَن ذَا الَّذِي يَعْصِمُكُم مِّنَ اللَّهِ إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءًا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ رَحْمَةً وَلَا يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“Katakanlah, ‘Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (kehendak) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu.’ Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah.” (QS. Al Ahzab: 17)
Dan bukan hanya menanamkan keimanan dan tawakal yang kokoh kepada Allah semata, akan tetapi akidah Al-Qur’an juga benar-benar telah meruntuhlantahkan segala keterkaitan, ketergantungan, mistik, takhayul dan segala bentuk kepercayaan kaum musyrikin kepada sesembahan selain Allah, sampai-sampai digambarkan bahwa sesembahan -atau apapun namanya- selain Allah tidak berdaya apapun bila ada seekor lalat yang merampas makanan mereka. Mereka tidak akan pernah mampu menyelamatkan makanan yang telah terlanjur dirampas oleh lalat, seekor mahluk lemah dan hina.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَّا يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ. مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hajj: 73-74)
Akidah Al-Qur’an juga mengajarkan bahwa sumber kelemahan dan kegagalan umat manusia ialah karena mereka jauh dari pertolongan dan bimbingan Allah, semakin mereka menjauhkan diri dari Allah dan semakin menggantungkan harapannya kepada selain-Nya maka semakin rusak dan hancurlah harapan dan kepentingannya,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6)
Akidah Al-Qur’an juga mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memiliki keyakinan yang kokoh bahwa tidaklah ada di dunia ini yang mampu mengetahui hal yang gaib selain Allah. Sehingga dengan keimanan semacam ini umat islam terlindungi dari kejahatan para dukun, tukang ramal dan yang serupa.
Akidah Al-Qur’an juga mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memiliki keyakinan yang kokoh bahwa tidaklah ada di dunia ini yang mampu mengetahui hal yang gaib selain Allah. Sehingga dengan keimanan semacam ini umat islam terlindungi dari kejahatan para dukun, tukang ramal dan yang serupa.
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui kapankah mereka akan dibangkitkan.” (QS. Fathir: 65)
Dengan akidah Al-Qur’an ini, seseorang akan memiliki kejiwaan yang tangguh, pemberani dan bersemangat tinggi, pantang mundur dan tak kenal putus asa dalam menjalankan roda-roda kehidupan dan mengarungi samudra kenyataan. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan kepada saudara sepupunya akidah Al-Qur’an di atas dengan sabdanya,
Dengan akidah Al-Qur’an ini, seseorang akan memiliki kejiwaan yang tangguh, pemberani dan bersemangat tinggi, pantang mundur dan tak kenal putus asa dalam menjalankan roda-roda kehidupan dan mengarungi samudra kenyataan. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan kepada saudara sepupunya akidah Al-Qur’an di atas dengan sabdanya,
يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
“Jagalah (syari’at) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (syari’at) Allah, niscaya engkau akan dapatkan (pertolongan/perlindungan) Allah senantiasa dihadapanmu. Bila engkau meminta (sesuatu) maka mintalah kepada Allah, bila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah (yakinilah) bahwa umat manusia seandainya bersekongkol untuk memberimu suatu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat melainkan dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu, dan seandainya mereka bersekongkol untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakakanmu selain dengan suatu hal yang telah Allah tuliskan atasmu. Al Qalam (pencatat taqdir) telah diangkat, dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Ahmad, At Tirmizi dan Hakim)
METODE BERAMAL
Syari’at Al-Qur’an mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa beramal guna merealisasikan kepentingannya baik kepentingan dunia atau akhirat. Sebagaimana syari’at Al-Qur’an telah menanamkan pada jiwa umatnya bahwa suatu keadaan yang ada pada mereka tidaklah pernah akan berubah tanpa melalui upaya dan perjuangan dari mereka sendiri. Langit tidaklah akan pernah menurunkan hujan emas dan perak, dan bumi tidaklah akan menumbuhkan intan dan berlian. Semuanya harus diupayakan dan diperoleh melalui perjuangan dan pengorbanan.
Allah Ta’ala berfirman,
METODE BERAMAL
Syari’at Al-Qur’an mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa beramal guna merealisasikan kepentingannya baik kepentingan dunia atau akhirat. Sebagaimana syari’at Al-Qur’an telah menanamkan pada jiwa umatnya bahwa suatu keadaan yang ada pada mereka tidaklah pernah akan berubah tanpa melalui upaya dan perjuangan dari mereka sendiri. Langit tidaklah akan pernah menurunkan hujan emas dan perak, dan bumi tidaklah akan menumbuhkan intan dan berlian. Semuanya harus diupayakan dan diperoleh melalui perjuangan dan pengorbanan.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’adu: 11)
Syari’at Al-Qur’an mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memiliki semangat baja dan tidak kenal putus asa dalam beramal. Walau aral telah melintang, dan kegagalan telah dituai, akan tetapi semangat beramal tidaklah boleh surut atau padam. Berjuang dan berjuang, berusaha dan terus berusaha hingga keberhasilan dapat direalisasikan, itulah semboyan setiap seorang muslim dalam setiap usahanya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mukminun: 51)
Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَيْأَسُواْ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِنَّهُ لاَ يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Oleh karena itu sikap bermalas-malasan dan hanya menunggu uluran tangan orang lain, tidak pernah diajarkan dalam syari’at Al-Qur’an. Syari’at Al-Qur’an bahkan menganjurkan agar setiap muslim mampu menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga dan juga masyarakatnya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ. قِيلَ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: يَعْتَمِلُ بِيَدَيْهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ. قَالَ: قِيلَ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ؟ قَالَ: يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ. قَالَ: قِيلَ لَهُ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ؟ قَالَ يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ أَوْ الْخَيْرِ. قَال:َ أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَفْعَلْ؟ قَالَ: يُمْسِكُ عَنْ الشَّرِّ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ
“Wajib atas setiap orang muslim untuk bersedekah. Dikatakan kepada beliau, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia bekerja dengan kedua tangannya, sehingga ia menghasilkan kemanfaatan untuk dirinya sendiri dan juga bersedekah.’ Dikatakan lagi kepadanya, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia membantu orang yang benar-benar dalam kesusahan.’ Dikatakan lagi kepada beliau, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia memerintahkan dengan yang ma’ruf atau kebaikan.’ Penanya kembali berkata, ‘Bagaimana bila ia tidak (mampu) melakukannya?’ Beliau menjawab, ‘Ia menahan diri dari perbuatan buruk, maka sesungguhnya itu adalah sedekah.’” (HR. Muslim)
Dan pada hadits lain, beliau bersabda,
Dan pada hadits lain, beliau bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا لكان كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibanding seorang mukmin yang lemah, dan pada keduanya terdapat kebaikan. Senantiasa berusahalah untuk melakukan segala yang berguna bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah engkau menjadi lemah. Dan bila engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah engkau berkata: seandainya aku berbuat demikian, demikian, niscaya akan terjadi demikian dan demikian, akan tetapi katakanlah, ‘Allah telah mentakdirkan, dan apa yang Ia kehendakilah yang akan Ia lakukan’, karena ucapan “seandainya” akan membukakan (pintu) godaan syetan.” (HR. Muslim)
Syari’at Al-Qur’an ini bukan hanya berlaku dalam urusan dunia, dan pekerjaan dunia, akan tetapi berlaku juga pada amalan yang berkaitan dengan urusan akhirat, yaitu berupa amalan ibadah. Hendaknya setiap muslim berjuang dan berusaha keras dalam menjalankan ibadah kepada Allah Ta’ala. Tidak cukup hanya beramal, akan tetapi antara sesama umat muslim saling berlomba-lomba dalam kebajikan dan amal sholeh,
وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. Al Maidah: 48)
Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri (berbuat dosa) mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.” (QS. Ali Imran: 133-135)
Walau syari’at Al-Qur’an menganjurkan umatnya untuk berlomba-lomba dalam mengamalkan kebajikan dan amal sholeh, akan tetapi syari’at Al-Qur’an tidaklah melupakan berbagai keadaan yang sedang dan akan dialami oleh masing-masing manusia. Setiap orang pasti melalui berbagai fase dari pertumbuhan fisik, biologis, mental dan berbagai perubahan dan keadaan yang meliputinya. Oleh karena itu syari’at Al-Qur’an senantiasa mengingatkan umatnya agar dalam beramal senantiasa memperhatikan berbagai faktor tersebut, sehingga tidak terjadi berbagai ketimpangan dalam kehidupan mereka, baik pada saat beramal atau pada masa yang akan datang. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak haditsnya telah menjelaskan dengan gamblang metode beramal semacam ini, diantaranya pada sabda Beliau,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَتْ عِنْدِي امْرَأَةٌ مِنْ بَنِي أَسَدٍ فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قُلْتُ فُلَانَةُ لَا تَنَامُ بِاللَّيْلِ فَذُكِرَ مِنْ صَلَاتِهَا فَقَالَ مَهْ عَلَيْكُمْ مَا تُطِيقُونَ مِنْ الْأَعْمَالِ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
“Dari sahabat ‘Aisyah radhiallohu ‘anha, ia menuturkan, ‘Pada suatu hari ada seorang wanita dari Bani Asad sedang berada di rumahku, kemudian Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumahku, lalu beliau bertanya, Siapakah ini? Akupun menjawab, Fulanah, wanita yang tidak tidur malam. ‘Aisyah menyebutkan perihal sholat malam wanita tersebut. Maka Rasulullah bersabda, Tahanlah. Hendaknya kalian mengerjakan amalan yang kalian mampu (untuk melakukannya terus-menerus/istiqomah-pent) karena sesungguhnya Allah tidaklah pernah bosan, walaupun kalian telah bosan. Dan amalan (agama) yang paling dicintai oleh Allah ialah amalan yang dilakukan dengan terus-menerus (istiqomah) oleh pelakunya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Demikianlah Syari’at Al-Qur’an mengajarkan umatnya dalam beramal, tidak malas dan tidak memaksakan diri sehingga mengerjakan suatu amalan yang tidak mungkin untuk ia lakukan dengan terus-menerus (istiqomah). Dan kisah berikut adalah kisah nyata akan hal ini:
Demikianlah Syari’at Al-Qur’an mengajarkan umatnya dalam beramal, tidak malas dan tidak memaksakan diri sehingga mengerjakan suatu amalan yang tidak mungkin untuk ia lakukan dengan terus-menerus (istiqomah). Dan kisah berikut adalah kisah nyata akan hal ini:
Pada suatu hari Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash rodhiallahu ‘anhu berkata, “Seumur hidupku, aku akan sholat malam terus menerus dan senantiasa berpuasa di siang hari.” Tatkala Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dilapori tentang ucapan sahabat ini, beliau memanggilnya dan menanyakan perihal ucapannya tersebut. Tatkala Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash mengakui ucapannya tersebut, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, Engkau tidak akan kuat melakukannya, maka berpuasalah dan juga berbukalah (tidak berpuasa). Tidur dan bangunlah (sholat malam). Dan berpuasalah tiga hari setiap bulan, karena setiap kebaikan akan dilipatgandakan supuluh kalinya, dan yang demikian itu sama dengan puasa sepanjang tahun.” Mendengar yang demikian, Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash berkata, “Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu” Beliau menjawab, “Puasalah sehari dan berbukalah dua hari.” Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash kembali berkata, “Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu.” Beliau menjawab, “Puasalah sehari dan berbukalah sehari, dan itulah puasa Nabi Dawud ‘alaihissalaam dan itulah puasa yang paling adil.” Mendengar yang demikian, Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash berkata, “Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu.” Beliau menjawab, “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.” Kemudian semasa tuanya Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash menyesali sikapnya tersebut dan beliau berkata, “Sungguh seandainya aku menerima tawaran puasa tiga hari setiap bulan yang disabdakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, lebih aku sukai dibanding keluarga dan harta bendaku.” (Kisah ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu sebagian ulama’ menjelaskan bahwa metode yang benar dalam beramal agar dapat istiqomah sepanjang masa dan dalam segala keadaan:
اعمل وأنت مشفق ودع العمل وأنت تحبه
“Beramallah sedangkan engkau dalam keadaan khawatir, dan beristirahatlah dari beramal dikala engkau masih menyukai amalan tersebut (bersemangat untuk beramal).”
Sebagian lainnya berkata,
إن هذا الدين متين فأوغلوا فيه برفق، ولا تبغضوا إلى أنفسكم عبادة الله، فان المنبت لا بلغ بعدا ولا أبقى ظهرا، واعمل على عمل امرىء يظن أن لا يموت إلا هرما، واحذر حذر امرىء يحسب أنه يموت غدا.
“Sesungguhnya agama ini adalah kokoh, maka masukklah ke dalamnya dengan cara-cara yang lembut, dan janganlah sekali-kali engkau menjadikan amal ibadah kepada Allah dibenci oleh jiwamu, karena sesungguhnya orang yang memaksakan kendaraannya, tidaklah dapat mencapai tujuan dan juga tidaklah menyisakan tunggangannya. Beramallah bagaikan amalan orang yang yakin bahwa ia tidak akan mati kecuali dalam keadaan pikun (tua renta) dan waspadalah sebagaimana kewaspadaan orang yang yakin akan mati esok hari.” (Az Zuhdu oleh Ibnu Mubarak 469).
PENEGAKKAN KEADILAN
Keadilan dalam syari’at Al-Qur’an memiliki penafsiran yang amat luas, sehingga mencakup seluruh makhluk, bahkan mencakup keadilan kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu, karena keadilan dalam syari’at Al-Qur’an adalah menunaikan setiap hak kepada pemiliknya, dan bukan berarti persamaan hak.
Untuk membuktikan apa yang saya utarakan ini, saya mengajar pembaca untuk merenungkan kisah berikut,
عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا فَقَالَ كُلْ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ قَالَ فَأَكَلَ فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ قَالَ نَمْ فَنَامَ ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ فَقَالَ نَمْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمْ الْآنَ فَصَلَّيَا فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ سَلْمَانُ
“Diriwayatkan dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, ia mengkisahkan, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjalinkan tali persaudaraan antara sahabat Salman (Al Farisy) dengan sahabat Abud Darda’, maka pada suatu hari sahabat Salman mengunjungi sahabat Abu Darda’, kemudian ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’ dalam keadaan tidak rapi, maka ia (sahabat Salman) bertanya kepadanya, Apa yang terjadi pada dirimu? Ummu Darda’-pun menjawab, Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak butuh lagi kepada (wanita yang ada di) dunia. Maka tatkala Abud Darda’ datang, iapun langsung membuatkan untuknya (sahabat Salman) makanan, kemudian sahabat Salman-pun berkata, Makanlah (wahai Abu Darda’) Maka Abud Darda’ pun menjawab, Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Mendengar jawabannya sahabat Salman berkata, Aku tidak akan makan, hingga engkau makan, maka Abud Darda’ pun akhirnya makan. Dan tatkala malam telah tiba, Abu Darda’ bangun (hendak shalat malam, melihat yang demikian, sahabat Salman) berkata kepadanya, Tidurlah, maka iapun tidur kembali, kemudian ia kembali bangun, dan sahabat Salman pun kembali berkata kepadanya, Tidurlah. Dan ketika malam telah hampir berakhir, sahabat Salman berkata, Nah, sekarang bangun, dan shalat (tahajjud). Kemudian Salman menyampaikan alasannya dengan berkata, Sesungguhnya Tuhan-mu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki hak atasmu, maka hendaknya engkau tunaikan setiap hak kepada pemiliknya. Kemudian sahabat Abud Darda’ datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dan ia menyampaikan kejadian tersebut kepadanya, dan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjawabnya dengan bersabda, Salman telah benar.” (HR. Bukhari)
Dikarenakan keadilan dalam syari’at Al-Qur’an mencakup keadilan kepada Allah Ta’ala, mencakup keadilan kepada Allah Ta’ala, maka tidak heran bila Allah Ta’ala menyatakan bahwa perbuatan syirik adalah tindak kelaliman terbesar:,
وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah: 254)
Dan pada ayat lain Allah berfirman,
Dan pada ayat lain Allah berfirman,
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Bila ada yang bertanya apa hak-hak Allah, sehingga kita dapat menunaikan hak-Nya dan tidak mendzolimi-Nya?
Maka jawabannya dapat dipahami dari ayat 13 surat Luqman di atas, dan juga lebih tegas lagi disabdakan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam pada kisah berikut,
Maka jawabannya dapat dipahami dari ayat 13 surat Luqman di atas, dan juga lebih tegas lagi disabdakan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam pada kisah berikut,
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: كُنْتُ رِدْفَ النَّبيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ فَقَالَ لى يَا مُعَاذُ أتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
Muadz bin Jabal menuturkan, “Aku pernah dibonceng Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam mengendarai keledai, lalu beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai Muadz, tahukah kamu, apa hak Allah atas hamba-Nya, dan apa hak hamba atas Allah?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliaupun bersabda, ‘Hak Allah atas hamba yaitu: supaya mereka beribadah kepada-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan hak hamba atas Allah yaitu: Allah tidak akan mengazab orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.’ Lalu aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, bolehkah aku sampaikan kabar gembira ini kepada para manusia?’ Beliau menjawab, ‘Jangan kamu sampaikan kabar gembira ini, nanti mereka akan bertawakal saja (dan enggan untuk beramal).” (Muttafaqun ‘alaih)
Keadilan jenis inilah yang pertama kali harus ditegakkan dan diperjuangkan. Oleh karena itu tatkala Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bernegoisasi dengan salah satu delegasi orang-orang Quraisy, yang bernama ‘Utbah bin Rabi’ah pada perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tidaklah menyeru mereka untuk meninggalkan kelaliman dalam harta benda, jabatan, atau yang lainnya. Beliau hanya menyeru agar orang-orang Quraisy meninggalkan kelaliman terhadap Allah Ta’ala. Sehingga tatkala beliau ditawari oleh ‘Utbah bin Rabi’ah untuk menjadi raja atau diberi harta benda dengan syarat membiarkan orang-orang Quraisy menyembah berhala mereka, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menolak tawaran tersebut. Marilah kita simak kisah negoisasi tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh ulama’ ahli sirah,
Keadilan jenis inilah yang pertama kali harus ditegakkan dan diperjuangkan. Oleh karena itu tatkala Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bernegoisasi dengan salah satu delegasi orang-orang Quraisy, yang bernama ‘Utbah bin Rabi’ah pada perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tidaklah menyeru mereka untuk meninggalkan kelaliman dalam harta benda, jabatan, atau yang lainnya. Beliau hanya menyeru agar orang-orang Quraisy meninggalkan kelaliman terhadap Allah Ta’ala. Sehingga tatkala beliau ditawari oleh ‘Utbah bin Rabi’ah untuk menjadi raja atau diberi harta benda dengan syarat membiarkan orang-orang Quraisy menyembah berhala mereka, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menolak tawaran tersebut. Marilah kita simak kisah negoisasi tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh ulama’ ahli sirah,
“Utbah bin Rabi’ah berkata kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, Wahai keponakanku, bila yang engkau hendaki dari apa yang engkau lakukan ini adalah karena ingin harta benda, maka akan kami kumpulkan untukmu seluruh harta orang-orang Quraisy, sehingga engkau menjadi orang paling kaya dari kami, dan bila yang engkau hendaki ialah kedudukan, maka akan kami jadikan engkau sebagai pemimpin kami, hingga kami tidak akan pernah memutuskan suatu hal melainkan atas perintahmu, dan bila engkau menghendaki menjadi raja, maka akan kami jadikan engkau sebagai raja kami, dan bila yang menimpamu adalah penyakit (kesurupan jin) dan engkau tidak mampu untuk mengusirnya, maka akan kami carikan seorang dukun, dan akan kami gunakan seluruh harta kami untuk membiayainya hingga engkau sembuh.”
Mendengar tawaran yang demikian ini, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam tidak lantas menerima salah satu tawarannya berupa menjadi raja/pemimpin atau diberi kedudukan, sehingga segala Quraisy tidaklah akan memutuskan sesuatu hal melainkan atas persetujuan beliau shollallahu ‘alaihi wasallam. Nabi tetap meneruskan perjuangannya memerangi kelaliman terbesar, yaitu peribadatan kepada selain Allah. Oleh karena itu Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab tawaran orang ini dengan membacakan 13 ayat pertama dari surat Fushshilat,
حم. تَنزِيلٌ مِّنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِّقَوْمٍ يَعْلَمُونَ بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ. وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ وَفِي آذَانِنَا وَقْرٌ وَمِن بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ إِنَّنَا عَامِلُونَ. قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِينَ. الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُم بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ. إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ. قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ. ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ. فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاء أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاء الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ. فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِّثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ
“Haa Miim. Diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata, “Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan di antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungghnya kami bekerja (pula).” Katakanlah, “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.” Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya (Yang bersifat) demikian itulah Rabb semesta alam.” Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuninya) dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati”. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua hari dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Jika mereka berpaling maka katakanlah, “Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Aad dan kaum Tsamud.” (QS. Fusshilat: 1-13)
Setelah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam sampai pada ayat ke 13 ini, Utbah bin Rabi’ah berkata kepada Beliau,
Setelah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam sampai pada ayat ke 13 ini, Utbah bin Rabi’ah berkata kepada Beliau,
فقال عتبة : حسبك، ما عندك غير هذا ؟ قال : لا
“Cukup sampai disini, apakah engkau memiliki sesuatu (misi/tujuan) selain ini? Beliau shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Tidak’.” Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Ibnu Hisyam 2/131, Dan Dalail An Nubuwah oleh Al Asbahani 1/194, dan kisah ini dihasankan oleh Syeikh Al Albani dalam Fiqhus Sirah.
Demikianlah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memulai perjuangannya menegakkan keadailan, yaitu dimulai dengan menegakkan keadilan kepada Allah Ta’ala. Bila keadilan ini telah tegak, barulah keadilan lainnya ditegakkan, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabat yang beliau utus untuk menyeru masyarakat kala itu kepada keadilan Islam,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْيَمَنِ قَالَ له: إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمٍ من أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ شهادةُ أن لا إله إلا الله – وفي رواية: إلى أَنْ يوحِّدوا الله- فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوك لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوكَ لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas rodhiallahu ‘anhu bahwasannya ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda kepadanya, ‘Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari ahli kitab, maka hendaknya pertama kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah mengucapkan syahadat (la ilaha illallah) -dan menurut riwayat yang lain: mentauhidkan (mengesakan) Allah-, Dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat, yang diambil dari orang-orang kaya dari mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin dari mereka. Dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka jauhilah olehmu mengambil yang terbaik dari harta mereka (sebagai zakat). Dan takutlah tehadap do’a orang yang dizolimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antaranya dan Allah (untuk di kabulkan do’anya).’” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan bila keadilan terbesar ini telah ditegakkan oleh suatu masyarakat, maka Allah Ta’ala akan melimpahkan keadilan selainnya kepada mereka, sebagai buktinya mari kita simak firman Allah Ta’ala berikut,
وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلاَ تَخَافُونَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُم بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ أَحَقُّ بِالأَمْنِ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ. الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah diantara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui. Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al An’aam: 81-82)
Dan mari kita simak pendidikan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam kepada saudara sepupunya Abdullah bin ‘Abbas rodhiallahu ‘anhu,
احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
“Jagalah (syari’at) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (syari’at) Allah, niscaya engkau akan dapatkan (pertolongan/perlindungan) Allah senantiasa di hadapanmu.” (HR. At Tirmizi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Adapun metode penegakan keadilan sesama manusia, maka syari’at Al-Qur’an telah memberikan gambaran indah dan sempurna sehingga tiada duanya. Diantara salah satu buktinya, simaklah firman Allah berikut,
Adapun metode penegakan keadilan sesama manusia, maka syari’at Al-Qur’an telah memberikan gambaran indah dan sempurna sehingga tiada duanya. Diantara salah satu buktinya, simaklah firman Allah berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقَيرًا فَاللّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُواْ الْهَوَى أَن تَعْدِلُواْ وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرً
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An Nisa’: 135)
Demikianlah syari’at Al-Qur’an dalam menegakkan keadilan. Dan sekarang mari kita bersama-sama merenungkan salah satu kisah nyata penegakan keadilan dalam Islam berikut ini,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ أيها النَّاس إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Dari sahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasannya kaum Quraisy dibingungkan oleh urusan seorang wanita dari Kabilah Makhzum yang kedapatan mencuri, maka mereka berkata: Siapakah yang berani memohonkan keringanan untuknya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam? Maka Mereka berkata: Siapakah yang berani melakukannya selain Usamah orang kesayangan Rasululah shollallahu ‘alaihi wasallam lantas Usamah pun memohonkan keringanan untuknya. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Apakah engkau akan memohonkan keringanan pada salah satu hukum had/pidana (ketentuan) Allah? Kemudian beliau berdiri berkhutbah, lalu bersabda, Wahai para manusia,! Sesungguhnya yang menyebabkan orang-orang sebelum kalian adalah bila ada dari orang yang terhormat (bangsawan) dari mereka mencuri maka mereka biarkan (lepaskan) dan bila orang lemah dari mereka mencuri, maka mereka tegakkan atasnya hukum had. Dan sungguh demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan potong tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Semakna dengan kisah ini apa yang disampaikan oleh Khalifah Abu Bakar rodhiallahu ‘anhu pertama kali beliau dibai’at menjadi khalifah, beliau berkata,
Semakna dengan kisah ini apa yang disampaikan oleh Khalifah Abu Bakar rodhiallahu ‘anhu pertama kali beliau dibai’at menjadi khalifah, beliau berkata,
ألا وان القوي عندي ضعيف حتى آخذ منه الحق والضعيف عندي قوي حتى آخذ له الحق. رواه البيهقي
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang yang kuat di sisiku adalah orang yang lemah sampai aku ambil darinya hak (orang lain yang ia rampas) dan orang yang lemah disisiku adalah orang yang kuat hingga aku ambilkan untuknya haknya.” (HR. Al Baihaqi)
Dan contoh lain yang serupa dengan ini ialah kisah yang terjadi pada sahabat Abdullah bin Rawahah rodhiallahu ‘anhu. Tatkala orang-orang Yahudi Khaibar hendak menyuapnya agar mengurangi kewajiban upeti yang harus mereka bayarkan kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam maka ia menjawab permintaan mereka ini dengan ucapannya, “Wahai musuh-musuh Allah, apakah kalian akan memberiku harta yang haram?! Sungguh demi Allah, aku adalah utusan orang yang paling aku cintai (yaitu Rasulullah), dan kalian adalah orang-orang yang lebih aku benci dibanding kera dan babi. Akan tetapi kebencianku kepada kalian dan kecintaanku kepadanya (Rasulullah), tidaklah menyebabkan aku bersikap tidak adil atas kalian. Mendengar jawaban tegas ini, mereka berkata: Hanya dengan cara inilah langit dan bumi menjadi makmur.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Baihaqi)
Bukan hanya sampai di sini syari’at Al-Qur’an menegakkan hak dan keadailan, bahkan keadilan dan kebenaran dalam syari’at Al-Qur’an tidak dapat dibatasi dengan peradilan manusia atau tingginya tembok pengadilan atau penjara. Keadilan dan hak seseorang dalam Islam tidak akan dapat dirubah dan digugurkan, walau pengadilan di seluruh dunia telah memutuskan untuk menguburnya atau menentangnya. Sebagai salah satu buktinya, mari kita simak bersama kisah berikut,
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رضي الله عنها عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ وَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ
“Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallambeliau bersabda, “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa, dan kalian mengangkat perselisihan kalian kepadaku, dan mungkin saja sebagian dari kalian lebih pandai menyampaikan alasannya daripada yang lain (lawannya), kemudian aku memutuskan untuknya (memenangkan tuntutannya) berdasarkan alasan-alasan yang aku dengar, maka barang siapa yang aku putuskan untuknya dengan sebagian hak saudaranya, maka janganlah ia ambil, karena sesungguhnya aku telah memotongkan untuknya sebongkahan api neraka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Demikianlah syari’at Al-Qur’an menegakkan keadilan, dan demikianlah menurut syari’at Al-Qur’an suatu keadilan tidak dapat dirubah walaupun pengadilan dunia dengan berbagai birokrasinya telah merubahnya. Dan apa yang disampaikan di sini hanyalah sepercik dari lautan keadilan menurut syari’at Al-Qur’an.
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN
Pendidikan adalah suatu hal yang amat urgen dalam kehidupan umat manusia secara umum, dan dalam kehidupan umat Islam secara khusus. Oleh karena itu Syari’at Al-Qur’an memberikan perhatian yang amat besar, sampai-sampai ayat Al-Qur’an yang pertama diturunkan adalah 5 ayat dalam surat Al ‘Alaq, yang memerintahkan umat manusia untuk membaca dan belajar.
Bukan hanya itu, bahkan syari’at Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa kahidupan manusia baik di dunia atau di akhirat tidaklah akan menjadi baik melainkan dengan didukung oleh pendidikan yang baik dan benar. Oleh karena itu seluruh mahluk yang ada di dunia ini dinyatakan senantiasa mendoakan kebaikan kepada setiap orang yang berjuang dengan mengajarkan kebaikan kepada umat manusia. Mari kita renungkan bersama sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini,
Bukan hanya itu, bahkan syari’at Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa kahidupan manusia baik di dunia atau di akhirat tidaklah akan menjadi baik melainkan dengan didukung oleh pendidikan yang baik dan benar. Oleh karena itu seluruh mahluk yang ada di dunia ini dinyatakan senantiasa mendoakan kebaikan kepada setiap orang yang berjuang dengan mengajarkan kebaikan kepada umat manusia. Mari kita renungkan bersama sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
“Sesungguhnya Allah, seluruh Malaikat-Nya, seluruh penghuni langit-langit dan bumi, sampaipun semut yang berada di dalam liangnya, dan sampai pun ikan, senantiasa memuji dan mendoakan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. At Tirmizi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Sebagaimana Syari’at Al-Qur’an juga mengajarkan agar pendidikan yang disampai kepada masyarakat senantiasa didasari oleh data yang autentik dan kebenaran. Sebagai salah satu contoh nyata hal ini ialah kisah berikut,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ أَنَّهُ قَالَ دَعَتْنِي أُمِّي يَوْمًا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ فِي بَيْتِنَا فَقَالَتْ هَا تَعَالَ أُعْطِيكَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا أَرَدْتِ أَنْ تُعْطِيهِ قَالَتْ أُعْطِيهِ تَمْرًا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
“Dari sahabat Abdullah bin ‘Amir, ia menuturkan: Pada suatu hari ibuku memanggilku, sedangkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk-duduk di rumah kami, kemudian ibuku berkata, Hai nak, kemarilah, aku beri engkau sesuatu. (Ketika mendengar perkataan ibuku itu) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, Apakah yang hendak engkau berikan kepadanya? Ibuku menjawab, Aku hendak memberinya kurma, Lalu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, Ketahuilah sesungguhnya engkau bila tidak memberinya sesuatu, maka ucapanmu ini niscaya dicatat sebagai satu kedustaanmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Demikianlah pendidikan dalam syari’at Al-Qur’an, oleh karena itu tidak mengherankan bila Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjadikan kedustaan sebagai salah satu kriteria orang-orang munafik.
Sebagaimana Syari’at Al-Qur’an juga mengajarkan agar pendidikan yang disampai kepada masyarakat senantiasa didasari oleh data yang autentik dan kebenaran. Sebagai salah satu contoh nyata hal ini ialah kisah berikut,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ أَنَّهُ قَالَ دَعَتْنِي أُمِّي يَوْمًا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ فِي بَيْتِنَا فَقَالَتْ هَا تَعَالَ أُعْطِيكَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا أَرَدْتِ أَنْ تُعْطِيهِ قَالَتْ أُعْطِيهِ تَمْرًا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
“Dari sahabat Abdullah bin ‘Amir, ia menuturkan: Pada suatu hari ibuku memanggilku, sedangkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk-duduk di rumah kami, kemudian ibuku berkata, Hai nak, kemarilah, aku beri engkau sesuatu. (Ketika mendengar perkataan ibuku itu) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, Apakah yang hendak engkau berikan kepadanya? Ibuku menjawab, Aku hendak memberinya kurma, Lalu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, Ketahuilah sesungguhnya engkau bila tidak memberinya sesuatu, maka ucapanmu ini niscaya dicatat sebagai satu kedustaanmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Demikianlah pendidikan dalam syari’at Al-Qur’an, oleh karena itu tidak mengherankan bila Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjadikan kedustaan sebagai salah satu kriteria orang-orang munafik.
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Pertanda orang-orang munafik ada tiga, bila ia berbicara ia berdusta, bila ia berjanjia ia ingkar, bila diamanati ia berkhianat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bila kita bandingkan hadits ini dengan fenomena pendidikan yang ada dimasyarakat kita, baik yang ada dalam keluarga, atau di masyarakat atau di sekolah-sekolah, niscaya kita dapatkan perbedaan yang amat besar. Pendidikan di masyarakat banyak yang disampaikan dengan kedustaan dan kebohongan, misalnya melalui dongeng palsu, cerita kerakyatan, cerita fiktif, sandiwara, film-film yang seluruh isinya berdasarkan pada rekayasa dan kisah-kisah palsu dan lainnya.
Bila kita bandingkan hadits ini dengan fenomena pendidikan yang ada dimasyarakat kita, baik yang ada dalam keluarga, atau di masyarakat atau di sekolah-sekolah, niscaya kita dapatkan perbedaan yang amat besar. Pendidikan di masyarakat banyak yang disampaikan dengan kedustaan dan kebohongan, misalnya melalui dongeng palsu, cerita kerakyatan, cerita fiktif, sandiwara, film-film yang seluruh isinya berdasarkan pada rekayasa dan kisah-kisah palsu dan lainnya.
Oleh karena itu tidak heran bila di masyarakat kita perbuatan dusta merupakan hal yang amat lazim terjadi dan biasa dilakukan, karena semenjak dini mereka dilatih melakukan kedustaan dan kebohongan.
Diantara keistimewaan metode pendidikan dalam syari’at Al-Qur’an ialah ditanamkannya nilai-nilai keimanan kepada Allah Ta’ala, rasa takut kepada-Nya, senantiasa tawakkal dan sadar serta yakin bahwa segala kebaikan dan juga segala kejelekan hanya Allah yang memiliki, tiada yang mampu mencelakakan atau memberi kemanfaatan kepada manusia tanpa izin dari Allah Ta’ala. Sehingga dengan menanamkan keimanan kepada Allah Ta’ala sejak dini semacam ini, menjadikan masyarakat muslim berjiwa besar, tangguh bak gunung yang menjulang tinggi ke langit, bersih jauh dari sifat-sifat kemunafikan, penakut, berkhianat, memancing di air keruh atau menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Kisah berikut adalah salah satu contoh nyata pendidikan Islam yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
“Dari sahabat Ibnu Abbas ia berkata, Suatu hari aku membonceng Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda kepadaku, “Wahai nak, sesungguhnya aku akan ajarkan kepadamu beberapa kalimat: Jagalah (syari’at) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (syari’at) Allah, niscaya engkau akan dapatkan (pertolongan/perlindungan) Allah senantiasa dihadapanmu. Bila engkau meminta (sesuatu) maka mintalah kepada Allah, bila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah (yakinilah) bahwa umat manusia seandainya bersekongkol untuk memberimu suatu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat melainkan dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu, dan seandainya mereka bersekongkol untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakakanmu selain dengan suatu hal yang telah Allah tuliskan atasmu. Al Qalam (pencatat taqdir) telah diangkat, dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Ahmad, dan At Tirmizi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Dan berikut adalah salah satu contoh generasi yang telah tertanam pada dirinya pendidikan Al-Qur’an, yang senantiasa mengajarkan agar setiap manusia senantiasa mengingat Allah, dan senantiasa sadar bahwa Allah selalu melihat dan mendengar segala gerak dan geriknya.
Dan berikut adalah salah satu contoh generasi yang telah tertanam pada dirinya pendidikan Al-Qur’an, yang senantiasa mengajarkan agar setiap manusia senantiasa mengingat Allah, dan senantiasa sadar bahwa Allah selalu melihat dan mendengar segala gerak dan geriknya.
Pada suatu malam ada seorang wanita yang memerintahkan anak gadisnya untuk mencampurkan air ke dalam susu yang hendak ia jual, maka anak gadis tersebut menjawab dengan penuh keimanan, “Bukankah ibu telah mendengar bahwa Umar telah melarang kita dari perbuatan semacam ini?! Maka sang ibu pun menimpali dengan berkata, Sesungguhnya Umar tidak mengetahui perbuatanmu! Maka anak gadis tersebut menjawab dengan berkata, “Sungguh demi Allah aku tidak sudi untuk mentaati peraturan Umar hanya ketika di khalayak ramai, akan tetapi ketika aku sendirian aku melanggarnya.”
Kita semua bisa bayangkan bila prinsip-prinsip islamiyyah yang terkandung dalam hadits ini terwujud pada masyarakat kita, maka saya yakin bahwa masyarakat kita akan terhindar dari berbagai praktek-praktek pengecut, khianat, korupsi, penakut, putus asa dan lainnya.
Tentu pendidikan yang semacam ini menyelisihi pendidikan yang sekarang banyak dilakukan oleh masyarakat kita, dimana anak-anak kita sejak kecil senantiasa dihancurkan kejiwaannya, keberaniannya dengan berbagai dongeng tentang hantu, syetan, khayalan tentang superman, batman, satria baja hitam, atau yang serupa yang menggambarkan tentang manusia yang bisa terbang, merubah bentuk, dengan berbagai kedustaan yang ada pada kisah-kisah tersebut. Tidaklah mengherankan bila generasi yang dibina dan jiwanya dipenuhi dengan kisah-kisah palsu semacam ini, hanya pandai mengkhayal, dan mudah putus asa, penakut dan pemalas.
KEMASYARAKATAN
Terciptanya suatu tatanan masyarakat yang saling bahu membahu, saling tolong menolong bersatu padu dalam segala keadaan bak satu bangunan yang saling melengkapi dan menguatkan adalah cita-cita setiap orang. Dan syari’at Al-Qur’an jauh-jauh hari telah mengajarkan berbagai kiat dan metode yang amat efektif dalam menciptakan tatanan masyarat indah tersebut.
Diantara bukti bahwa syari’at Al-Qur’an amat memperhatikan dan telah mengatur sedemikian rupa agar tercipta suatu tatanan masyarakat idaman ialah firman Allah Ta’ala berikut ini,
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An Nisa’ 36)
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam pernah mengisahkan bahwa Malaikat Jibril ’alaihissalam amat sering berpesan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam agar berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam pernah mengisahkan bahwa Malaikat Jibril ’alaihissalam amat sering berpesan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam agar berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَ
تَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Terus-menerus Malaikat JIbril berpesan kepadaku tentang tetangga, sampai-sampai aku mengira ia akan membawakan wahyu yang memerintahkan aku agar menjadikan tetangga sebagai ahli waris.” (HR. Bukhari)
Dan pada hadits lain beliau shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Dan pada hadits lain beliau shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ
“Sungguh demi Allah tidaklah beriman, sungguh demi Allah tidaklah beriman, Sungguh demi Allah tidaklah beriman. Maka ditanyakankepada beliau, Siapakah orang itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab, Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari)
Syari’at Al-Qur’an bukan hanya sekedar mengajari umatnya untuk menjaga diri dari segala yang mengganggu tetangga, akan tetapi juga memerintahkan agar kita berperi laku baik dengan mereka, masing-masing sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana yang ditegaskan pada ayat di atas, dan juga dalam sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
Syari’at Al-Qur’an bukan hanya sekedar mengajari umatnya untuk menjaga diri dari segala yang mengganggu tetangga, akan tetapi juga memerintahkan agar kita berperi laku baik dengan mereka, masing-masing sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana yang ditegaskan pada ayat di atas, dan juga dalam sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia memuliakan tetangganya.” (HR. Muslim)
Dan salah satu contoh nyata yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam ialah mengizinkan tetangga kita untuk ikut memanfaatkan halaman atau dinding rumah atau pagar rumah kita, misalnya dengan ikut meletakkan atau menyandarkan kayunya di dinding kita atau yang serupa. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَمْنَعْ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَهُ فِي جِدَارِهِ
“Janganlah seorang tetangga melarang tetangganya yang hendak menyandarkan kayunya di dinding miliknya.” (HR. Bukhari)
Diantara faktor yang menjadikan masyarakat yang menjalankan syari’at Al-Qur’an menjadi indah, tentram, damai dan sejahtera dan makmur ialah disyari’atkannya amar ma’ruf nahi mungkar, sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut ini,
Diantara faktor yang menjadikan masyarakat yang menjalankan syari’at Al-Qur’an menjadi indah, tentram, damai dan sejahtera dan makmur ialah disyari’atkannya amar ma’ruf nahi mungkar, sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut ini,
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Dengan syari’at amar ma’ruf nahi mungkar inilah masyarakat muslim dapat mencegah terjadinya berbagai kejahatan dan kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Dan dengan syari’at amar ma’ruf dan nahi mungkar mereka dapa terhindar dari berbagai bencana alam, musibah, wabah penyakit dan krisis dalam berbagai hal.
Pada suatu hari Zaenab bin Jahesy bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟ قَالَ: نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ
“Ya Rasulullah, apakah kita akan dibinasakan, padahal di tengah-tengah kita terdapat orang-orang sholeh? Beliau menjawab, Ya, bila telah banyak pada kalian orang-orang jelek.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Dan pada hadits lain, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Dan pada hadits lain, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عذابا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Sungguh demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sungguh kalian memerintahkan dengan yang ma’ruf (baik) dan mencegah dari yang mungkar, atau tak lama lagi Allah akan mengirimkan kepada kalian azab dari sisi-Nya, kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan Ia tidak mengabulkannya.” (HR. At Tirmizi dan dihasankan oleh Al Albani)
Dan pada hadits lain Beliau shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Permisalan orang-orang yang menegakkan batasan-batasan (syariat) Allah (beramar ma’ruf dan nahi mungkar-pen) dan orang-orang yang melanggarnya, bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal/bahtera, sehingga sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal tersebut, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya, sehingga yang berada dibagian bawah kapal bila mengambil air, maka pasti melewati orang-orang yang berada diatas mereka, kemudian mereka berkata, Seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kita. Nah apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa, dan bila mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka telah menyelamatkan orang-orang tersebut, dan mereka semuapun akan selamat.” (HR. Bukhari)
Inilah kunci kedamaian, keamanan, kemakmuran dan terhindarnya kita semua dari berbagai musibah, bencana alam, petaka, paceklik dan berbagai wabah, yaitu dengan menegakkan amar ma’ruf, sehingga perbuatan baik dan amal sholeh memasyarakat dan juga menegakkan nahi mungkar, sehingga kemungkaran dan kemaksiatan dapat diperangi dan dikikis habis. Pada hadits lain Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنْ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا ...
“Tidaklah pernah perbuatan zina merajalela di suatu masyarakat hingga mereka berani untuk melakukannya dengan terang-terangan, melainkan akan merajalela pula di tengah-tengah mereka berbagai wabah dan penyakit yang tidak pernah ada di orang-orang yang terdahulu. Tidaklah mereka berbuat kecurangan dalam hal timbangan dan takaran, melainkan mereka akan ditimpa paceklik, biaya hidup yang tinggi, dan kelaliman para penguasa. Tidaklah mereka menahan zakat harta mereka, melainkan mereka akan dihalang-halangi dari air hujan yang datang dari langit, dan seandainya bukan karena binatang, niscaya mereka tidak akan dihujani…” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Oleh karena itu hendaknya kita kaum muslimin Indonesia menghidupkan dan menggalakkan syari’at ini agar masyarakat kita dapat terhindar dari berbagai petaka dan musibah yang melanda bangsa dan negri kita, dan kesejahteraan serta kedamaian dapat terealisasi di negeri kita.